Jumat, 20 Juli 2007

Dollar sudah jatuh, di mana Dinar?

ekarang, dollar sudah jatuh. Kenapa Dinar-emas belum bangkit, sebagaimana yang diharapkan Mahathir dan banyak orang lainnya?
oleh Dzikrullah W. Pramudya

Samurai veteran kapitalisme sudah mengakui, pedangnya sekarang tumpul, tak bisa lagi mengendalikan dunia. Minggu lalu, bekas direktur Federal Reserve Amerika Alan Greenspan menyatakan bahwa ia memperkiraqan, dollar akan semakin lemah dalam beberapa tahun ke depan, gara-gara defisit yang dialami neraca pembayaran utang Amerika Serikat.

"Saya kira dollar akan terus anjlok sampai ada perubahan dalam neraca pembayaran utang AS," kata Greenspan dalam sebuah konferensi bisnis jarak jauh AS-Israel. Menurutnya, keadaan pasar begitu rumitnya, bahkan susah meramal kondisi dollar dalam jangka pendek.

Dia juga menyebutkan, bangsa-bangsa yang tergabung dalam OPEC sedang mengalihkan cadangan uangnya dari dollar ke euro dan yen. "Adalah tidak bijaksana untuk menahan semua milik Anda dalam satu mata uang," katanya.

Yang tidak diakui secara terus terang oleh Greenspan adalah, fakta bahwa sudah sejak lama tidak bijaksana untuk menyimpan uang Anda dalam mata uang fiat apapun. Fiat money alias uang kertas adalah jenis uang yang dianggap legal dan bernilai oleh suatu hukum. Dollar, Euro, Franc, Mark, Poundsterling, Rupee, Ringgit, Peso, Rupiah, Bath tak ada satupun yang didukung oleh nilai nyata kertasnya sendiri. Fiat money tidak memiliki nilai intrinsik (instrinsic value), sebagai kebalikan dari uang komoditas (commodity money) seperti Dinar-emas, perak, atau perunggu.

Seandainya besok, karena alasan tertentu, pemerintah AS mengumumkan bahwa mereka akan mendevaluasi uang kertas US$ 100 menjadi bernilai US$ 10, maka miliaran orang di dunia tak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah dan menerima 'kenyataan' bahwa dalam 24 jam ke depan mereka akan jauh lebih miskin.

Hal seperti itu tidak akan terjadi dengan Dinar-emas. Bahkan kalau seluruh pemerintah di muka bumi menyatakan bahwa emas adalah "barang tidak berharga", orang tidak akan peduli dan tetap memburu emas. Emas tetap emas, orang selalu akan menganggapnya bernilai tinggi sampai kiamat.

Nilai sebuah koin Dinar-emas 22 karat di masa Nabi Muhammad SAW --lebih dari 1400 tahun silam-- masih tetap sama dengan nilainya hari ini. Tidak ada devaluasi, tidak ada inflasi. Bakar dan cairkan sepotong emas, nilainya tetap sama. Cobalah bakar setas penuh dollar AS dan gunakan arangnya untuk beli sepiring nasi. Parahnya lagi, Anda tidak perlu membakar uang kertas untuk membuatnya tidak bernilai. Simpan saja semua uang Anda dalam dollar, rupiah, dan lain-lain; sesudah beberapa tahun nilai uang Anda pasti akan turun kalau tidak anjlok. Nyatanya, nilai dollar terhadap emas terus menurun sejak tahun 1970-an sampai hari ini.

Kebanyakan orang akan mengira bahwa itulah sifat uang, selalu mengalami inflasi. Namun, kelompok masyarakat Amerika sendiri seperti FAME (Foundation of the Advancement of Monetary Education) atau GATA (Gold Anti-Trust Action Committee) berpikiran lain. Beberapa tahun belakangan ini mereka semakin keras bersuara tentang perlunya perombakan sistem moneter yang berbasis fiat money. Mereka mewakili masyarakat AS yang merasa dirugikan, karena nilai tabungan dollarnya yang didapat dengan kerja keras bertahun-tahun ternyata turun setiap tahun. "Karena kesalahfahaman dan tertutupnya sistem fiat dollar, maka ini suatu penipuan besar-besaran, " demikian pernyataan Lawrence Parks, direktur ekskutif FAME.

Kedua organisasi ini bekerja keras mendorong Kongres AS untuk mengubah sistem moneter di negeri itu (yang tentu saja berpengaruh luas kepada dunia internasional). Menurut lembaran fakta resmi FAME, Kongres AS telah secara salah memberikan sebuah kekuasaan istimewa bagi sistem perbankan AS yang sama sekali tidak diatur oleh konstitusi AS. Kekuasaan itu dipakai oleh perbankan AS untuk menciptakan kertas-kertas yang dianggap legal dan mutlak sebagai uang tanpa dasar atau sandaran apa-apa.

Sejak tahun 1946 sampai 2005, dengan modal "hanya" US$ 150 miliar, sistem perbankan AS telah mencetak uang fiat senilai US$ 9,4 triliun. Sekitar US$ 700 miliar dicetak oleh the Federal Reserve, dan sisanya sekitar US$ 8,7 triliun dicetak oleh perusahan-perusahaan swasta, dalam hal ini bank-bank. Parks mempertanyakan, "Kenapa perusahaan-perusahaan swasta harus diberi kekuasaan untuk mencetak uang?"

Kita biarkan saja orang Amerika berkutat dengan masalah fiat money yang membingungkan ini. Artikel ini ingin lebih memfokuskan diri pada jalan keluar dari masalah ini, yaitu commodity money. Dalam hal ini, mata uang Dinar-emas.

Kebanyakan orang di kawasan Asia Tenggara memandang Dinar-emas sebagai isu politik. Pada tahun 2003 Perdana Menteri Malaysia waktu itu Mahathir Mohammad mengangkatnya. Sesungguhnya, Mahathir angkat bicara sesudah selama belasan tahun berbagai kelompok Muslimin di Inggris, Spanyol, dan Afrika Selatan memulainya. Mahathir mengumumkan, bahwa Malaysia akan berinisiatif memperbaiki sistem keuangan internasional, dengan cara menjadikan Dinar-emas sebagai mata uang alternatif.

Dia mengkritik sistem keuangan masa kini karena 'sudah dipelintir oleh negara-negara kaya dan para spekulator'. Dia juga menyatakan bahwa Malaysia akan berusaha keras menggunakan Dinar-emas dalam perdagangannya dengan Iran sebagai langkah awal. Kalau inisiatif itu berhasil, Malaysia akan memperluas kerja sama ini dengan 32 negara lewat pengaturan pembayaran bilateral (BPA).

Sekarang, dollar sudah jatuh. Kenapa Dinar-emas belum bangkit, sebagaimana yang diharapkan Mahathir dan banyak orang lainnya?

Jawabannya datang dari Presiden Dinar Club di Jakarta, Muhaimin Iqbal, yang juga presiden direktur sebuah perusahaan asuransi tertua di negeri ini. Menurut Iqbal, sulit bagi Dinar-emas menjadikan dirinya mata uang alternatif tanpa dukungan perbankan Islam atau syariah. Dia menyatakan, "Satu-satunya lembaga yang bisa memfasilitasi sistem pembayaran modern, transfer, dan lain-lain hanyalah bank syariah."

Iqbal juga meyakinkan, bahwa langkah membuka rekening Dinar-emas akan menguntungkan bank-bank syariah karena akan lebih melindungi masyarakat yang hendak menabung dalam Dinar-emas dari riba. Dengan demikian tabungan mereka tidak akan tercampur dengan proyek pembiayaan yang masih mengandung riba. Bank-bank syariah juga akan mendapatkan bayaran jasa penyimpanan Dinar. Yang sekarang belum ada, menurut Iqbal, hanya niat dan political will dari perbankan syariah dan pemerintah.

Masyarakat sebaiknya mencermati terus jatuhnya dollar yang akan terus anjlok beberapa tahun ke depan. Euro dan yen juga, menurut Iqbal sama rentannya karena sama-sama fiat money. Yang paling bijaksana adalah menyimpan uang dalam Dinar-emas, karena sifatnya yang tahan gempa krisis moneter apapun. Dinar-emas sudah selama beberapa tahun ini diproduksi di Indonesia. Alternatifnya adalah emas murni batangan.

Bagaimanapun, Iqbal mengingatkan, bahkan Dinar-emas juga bukan tujuan akhir dari sistem ekonomi. Orang-orang kaya, khususnya jika mereka Muslim, seharusnya tidak menumpuk kekayannya dalam rekening-rekening bank dalam waktu yang lama. Akan lebih baik jika kekayaan itu diinvestasi ke dalam putaran usaha di sektor nyata sehingga membuka lapangan kerja dan lebih berkah. Alternatifnya adalah kekayaan yang disebarkan lewat infaq dan sadaqah di jalan Allah sebagai bentuk investasi yang lebih tahan krisis dan tidak akan bisa dirampok. Atas nama keadilan, Islam melarang kekayaan hanya berputar di kalangan orang-orang kaya saja. Inilah jalan keluar terbaik dari sistem keuangan yang serba kacau.

* Kolomnis hidayatullah.com dan kini sedang menulis untuk The Brunei Times

Senin, 02 Juli 2007

KAMPANYE UNTUK MATA UANG EMAS

Dalam perdebatan manapun tentang emas dan perak, kendati telah sering disangkal sebelumnya namun penentang kebebasan moneter acap kali mengemukakan beberapa keberatan tertentu. Keberatan-keberatan itu diantaranya:

• Emas yang ada tidak cukup;
• Rusia dan Afrika Selatan akan diuntungkan, karena keduanya adalah penghasil utama emas;
• Emas menjadi sasaran dampak spekulasi yang tidak diinginkan;
• Emas mengalami ketidak stabilan harga.

Anggapan pertama, yakni emas yang ada tidak cukup, dilandasi oleh kekeliruan atas harga emas. Anggapannya adalah kurs tukar emas dengan uang-kertas saat ini harus menjadi kurs tukar yang berlaku jika emas dijadikan alat tukar. Padahal jelas bukan itu masalahnya. Sederhana saja, jika mata uangnya adalah emas maka harga-harga yang lebih kecil akan menghapus kebutuhan untuk jumlah yang lebih besar. Contohnya, dengan kurs tukar yang berbeda sebuah baju seharga Rp. 2,000,000 satuan kertas dapat dibeli dengan 3-4 dinar emas saja.

Keberatan kedua yang menyangkut Rusia dan Afrika Selatan sama-sama tidak beralasan. Emas dapat dianggap sebagai keuntungan, sama halnya seperti minyak ataupun tanah subur. Dalam 2000 tahun terakhir, jumlah seluruh emas yang telah digali telah melebihi cadangan emas Rusia dan Afrika Selatan yang meski tersohor namun masih belum tercetak. Cadangan emas Rusia yang belum tercetak diperkirakan sekitar 250 juta ons, lebih sedikit dari cadangan emas Amerika Serikat yang sudah tercetak. Dalam saham-saham resmi saja (tidak termasuk milik pribadi), jumlah seluruh emas yang tercetak menurut IMF dapat diperkirakan sebesar 1.100 juta ons. Adanya permintaan emas sebagai alat tukar akan menarik keluar emas yang ditimbun, suatu proses yang sedang digandrungi kebanyakan bank sentral. Jadi seharusnya yang ditakuti adalah kenaikan besar-besaran pasokan uang-kertas yang akan menggiring kita pada dekade inflasi tinggi berikut seperti di era tahun 1970-an.

Keberatan ketiga , yakni emas menjadi sasaran dampak spekulasi sehingga terlalu goyah untuk digunakan sebagai alat tukar, juga salah. Selama tahun 1970-an, emas malah menjadi benteng utama terhadap inflasi. Harga emas yang membumbung dari $35 sampai $850 per ons merupakan hasil dari kekhawatiran atas nilai uang-kertas dan krisis internasional yang berkembang, dan khalayak yang keberatan atas emas karena sifatnya yang spekulatif telah mencampuradukkan antara sebab dengan akibat. Spekulasi yang sebenarnya dipicu oleh sistem uang-kertas yang tak dapat ditukar kembali dan khalayak yang secara logis ingin melindungi dirinya sendiri dari sistem itu.

Keberatan keempat yaitu emas akan mengalami ketidakstabilan harga. Bandingkan harga emas AS tahun 1833 dengan tahun 1933, yakni menjelang dilepaskannya standar emas domestik. Ternyata, dalam 100 tahun indeks harga komoditas borongan hanya naik 0,9%! Namun sejak itu, saat Presiden Nixon di tahun 1971 menyatakan kebangkrutan internasional dan mengumumkan tak ada lagi emas yang akan diberikan untuk dolar yang ditukar, indeksnya telah melonjak 350%. Dan dalam 20 tahun terakhir indeksnya meroket lagi sekitar 400%.

Dengan demikian emas stabil, layak untuk dijadikan uang, dapat diaplikasikan kapanpun dan dimanapun, dan sejarah telah membukakan mata kita bahwa tak ada uang yang lebih goyah dan lebih tak layak selain uang-kertas.